Indiwarta.com_ JAKARTA, Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR RI, menolak keputusan Komisi IX DPR RI dan Pemerintah membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan ke paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Dalam pendapat akhir mini fraksi atas RUU Kesehatan di Komisi IX DPR RI, Senin (19/6/2023), FPD yang tidak menandatangani kesepakatan ini bersama F-PKS, menyampaikan sejumlah catatan penting.
‘’Demokrat sudah mengusulkan dan memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan (mandatory spending) di luar gaji dan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun usulan ini tidak diterima, sebaliknya, pemerintah lebih memilih mandatory spending kesehatan dihapuskan,’’ terang Anggota Komisi IX dari FPD, Aliyah Mustika Ilham ketika membacakan pandangannya.
Penghapusan belanja atau pengeluaran negara untuk kesehatan dalam RUU ini memang menjadi kontroversi di masyarakat, khususnya pemangku kepentingan dunia kesehatan. Hal ini terkait dengan kekhawatiran bahwa layanan kesehatan akan semakin memburuk.
‘’Ini kan memang suara masyarakat, khususnya dari dunia kesehatan. Alokasi anggaran 5% dari total APBN itu harusnya justru ditambah. Bukan malah dihapus. Karena akan terkait langsung dengan layanan kesehatan terhadap masyarakat,’’ papar Aliyah, usai rapat di Komisi IX, melalui TeropongSenayan.com.
Dalam pandangannya, FPD menegaskan, bahwa penghapusan mandatory spending kesehatan menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Bagi Demokrat, anggaran yang dihapus ini masih sangat diperlukan. Karena layanan kesehatan, juga akan terkait langsung dengan upaya mencapai tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024 telah ditetapkan sasaran IPM mencapai 75,54%. Sementara tahun 2022 tingkat IPM baru mencapai 72,91%. Begitupula jika dibandingkan dengan negara lain, peringkat IPM Indonesia masih berada pada urutan 130 dari 199 negara menurut Bank Dunia.
‘’Kebijakan pro kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5% dari APBN yang diamanatkan dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Era Pemerintahan Presiden Ke- VI RI, Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya,’’ jelas Aliyah.
Selain itu, Aliyah juga memaparkan, ketidaksetujuan FPD terhadap indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan. Meskipun, FPD tidak anti dengan kemajuan dan keterbukaan terhadap tenaga kerja asing, namun perlu mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi seperti pembiayaan dan dampak yang dikhawatirkan semua pihak.
“Kami tak anti dengan kemajuan dan keterbukaan terhadap tenaga kerja asing, namum kami tak setuju terhadap adanya indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan,” ungkap Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I ini.
Lebih dari itu, FPD menilai proses penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan kurang memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup. Sehingga terkesan sangat terburu-buru.
‘’Jika ruang dan waktu dibuka lebih panjang lagi, kami meyakini RUU ini dapat lebih komperhensif, holistik, berbobot,dan berkualitas,’’ tegas Aliyah Mustika Ilham. (*/Arman)