Anak Kandung Jadi Bendahara Desa, ASN Jadi Ketua BPD di Desa Banyuanyara, Pengawasan Pemerintah Dipertanyakan

TAKALAR, INDIWARTA.COM – Carut-marut tata kelola pemerintahan di Desa Banyuanyara, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, menuai sorotan tajam dari masyarakat.

Pasalnya, Kepala Desa Banyuanyara, Drs. Subair Ewa, diduga telah mengangkat anak kandungnya sendiri sebagai Bendahara Desa. Tak hanya itu, posisi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di desa yang sama diketahui dijabat oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga merupakan Kabid di salah satu dinas lingkup Pemkab Takalar.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap integritas dan sistem pengawasan pemerintahan di tingkat desa hingga kabupaten. Masyarakat menilai ada praktek nepotisme dan pelanggaran aturan kepegawaian dalam struktur pemerintahan Desa Banyuanyara.

“Kalau kepala desa angkat anaknya jadi bendahara, itu jelas melanggar aturan. Apalagi ketua BPD-nya seorang ASN aktif, itu juga tidak diperbolehkan. Ini sudah terang benderang ada pelanggaran,” kata salah satu tokoh masyarakat Sanrobone, Sabtu (11/10/2025).

Melanggar Aturan Hukum dan Etika Pemerintahan

Pengangkatan anak kandung Kepala Desa sebagai Bendahara Desa dan ASN menjadi Ketua BPD, secara tegas bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

Pasal 51 huruf j menyebutkan:

“Kepala Desa dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, atau pihak tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat.”

Artinya, tindakan Kepala Desa yang mengangkat anaknya sebagai Bendahara Desa termasuk praktik nepotisme dan benturan kepentingan.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017,

menegaskan bahwa pengangkatan perangkat desa harus dilakukan secara objektif dan bebas dari konflik kepentingan keluarga.

3. Sementara untuk Ketua BPD yang berstatus ASN, hal ini juga melanggar Pasal 94 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,

yang menyatakan bahwa ASN dilarang merangkap jabatan pada lembaga lain di luar tugas pokoknya, kecuali mendapat izin dari pejabat berwenang.

Selain itu, dalam Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa, dijelaskan bahwa anggota BPD tidak boleh berasal dari kalangan ASN aktif, karena BPD berfungsi sebagai lembaga pengawasan independen di tingkat desa.

Lemahnya Pengawasan BPD, Camat, dan Inspektorat

Fenomena ini juga mengungkap lemahnya pengawasan berjenjang, baik dari BPD, Camat Sanrobone, Dinas PMD, maupun Inspektorat Kabupaten Takalar.

Padahal, BPD memiliki peran mengawasi jalannya pemerintahan desa dan memastikan kebijakan Kepala Desa sesuai dengan aturan. Namun, hingga kini tidak ada tindakan atau rekomendasi pembenahan terkait dugaan pelanggaran tersebut.

Begitu pula pihak Camat Sanrobone, yang berdasarkan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017, seharusnya melakukan pembinaan dan supervisi terhadap setiap proses pengangkatan perangkat desa.

“Kalau fungsi pengawasan dari Camat, BPD, dan Inspektorat berjalan, tidak mungkin ada kasus seperti ini. Seolah-olah semua pihak tutup mata,” ujar warga lainnya dengan nada kecewa.

Desakan Pemeriksaan dan Sanksi Tegas

Warga mendesak Bupati Takalar agar menurunkan tim investigasi untuk memeriksa dugaan pelanggaran di Desa Banyuanyara. Mereka juga meminta Dinas PMD dan Inspektorat segera melakukan audit terhadap pengangkatan perangkat desa yang diduga tidak sesuai prosedur.

“Bupati harus tegas. Jangan biarkan praktik nepotisme dan rangkap jabatan seperti ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa,” tegas seorang pemerhati kebijakan publik Takalar.

Hingga berita ini di layangkan Masi berupaya untuk mendapatkan Klarifikasi resmi dari kepala desa Banyuanyara.

Catatan Redaksi 

Kasus dugaan nepotisme dan rangkap jabatan di Desa Banyuanyara menjadi tamparan keras bagi sistem pembinaan dan pengawasan pemerintahan di Kabupaten Takalar.

Jika tidak segera ditindak, praktik seperti ini bisa menjadi preseden buruk bagi desa-desa lain dan menghambat terwujudnya tata kelola pemerintahan desa yang bersih dan berintegritas. (*)