Bundo Kanduang: Pilar Peradaban Minangkabau di Era Modernisasi

MINANGKABAU, INDIWARTA.COM – Teringat sebuah syair Arab yang berbunyi, “Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuannya baik (berakhlakul karimah), maka baiklah negara itu. Akan tetapi, jika perempuannya amoral, maka hancurlah negara.” Syair ini menegaskan peran vital perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran perempuan menjadi penentu masa depan bangsa, menjadikannya komponen penting dalam setiap dinamika kehidupan.

Perempuan memiliki peran keummatan dan kebangsaan. Dalam perspektif keummatan, perempuan dilihat sebagai “Al ummu madrasatul ula” yang berarti ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Peran ibu dalam mendidik, merawat, dan mengarahkan anak sangat krusial. Anak adalah cerminan orang tua dan masa depan keluarga serta negara. Peran kebangsaan perempuan terlihat dalam kontribusinya di bidang ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan, yang sejajar dengan laki-laki.

Dalam masyarakat Minangkabau, penghormatan terhadap perempuan terwujud dalam konsep Bundo Kanduang. Dilahirkan sebagai perempuan di tanah Minangkabau adalah sebuah anugerah. Perempuan Minangkabau memiliki tugas mulia sebagai Bundo Kanduang untuk dirinya, keluarga, nagari, agama, dan negara. Tugas ini bukan hanya milik perempuan, tetapi juga laki-laki yang mendukung perempuan menjadi Bundo Kanduang yang paripurna.

Budaya dan falsafah hidup Minangkabau menanamkan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ini telah bertahan menghadapi perubahan zaman, menunjukkan eksistensinya yang kuat. Salah satu nilai budaya yang dilestarikan adalah menjaga marwah dan keluhuran Bundo Kanduang, yang menjadi teladan bagi komunitas di nagari-nagari Minangkabau.

Bundo Kanduang merupakan simbol perempuan/Ibu yang menjadi panutan dalam masyarakat. Keteladanan ini penting agar generasi memiliki sosok yang bisa diteladani, menjadi sumber pengaruh sosial positif. Proses belajar individu sering kali terjadi melalui observasi terhadap lingkungan dan orang lain, menunjukkan bahwa keteladanan berperan besar dalam pembentukan karakter individu.

Falsafah Minangkabau mengingatkan kita tentang peran penting Bundo Kanduang, yang digambarkan dalam ungkapan limpapeh rumah nan gadang. Bundo Kanduang bukan sekadar status, tetapi predikat bagi perempuan dengan akhlak dan moral terpuji, yang menjadi teladan dalam masyarakat. Bundo Kanduang adalah perempuan paripurna yang dihormati bukan karena fisik, tetapi karena sifat dan tindakan terpujinya.

Kedudukan perempuan dalam masyarakat Minangkabau sangat luhur dan terhormat. Dalam sistem matrilineal, garis keturunan ditentukan melalui garis ibu. Suku ibu menentukan suku anak, dan perempuan memiliki hak atas harta pusaka tinggi. Ini menunjukkan penghormatan besar terhadap perempuan dalam adat Minangkabau.

Penghormatan terhadap perempuan dalam konsep Bundo Kanduang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Adat Minangkabau yang bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah, menjadikan Islam dan adat sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan. Konsep ini memastikan adat berjalan sesuai dengan perintah syariat Islam.

Bundo Kanduang bukanlah status yang diberikan begitu saja, tetapi muncul dari perempuan yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Islam memuliakan perempuan, menjadikan mereka pilar dalam perbaikan peradaban. Sejarah mencatat kontribusi besar perempuan dalam mendukung dakwah Nabi Muhammad S.A.W., menunjukkan betapa pentingnya peran perempuan dalam perjuangan.

Hakikat Bundo Kanduang adalah perempuan teladan dengan akhlak mulia, yang menjadi lambang keselamatan dunia dan akhirat. Tugas Bundo Kanduang adalah memberikan contoh dan membimbing anggota komunitas ke jalan yang baik, menjaga nama baik kaum, dan memperdalam adat Minangkabau.

Era modernisasi menuntut adaptasi, dan konsep Bundo Kanduang tetap relevan sebagai pilar peradaban. Konsep ini berfungsi menjaga dan memajukan nilai budaya Minangkabau, menyaring pengaruh luar yang merusak, serta mendorong peran perempuan di berbagai sektor untuk kemajuan sosial, ekonomi, dan politik.

Ikatan Keluarga Minang Sapayuang Sulawesi Selatan (IKMS) dan sayap organisasinya, Ikatan Wanita Sapayuang Sulsel (IKWAS), bertransformasi menjadi Ikatan Bundo Kanduang Sapayuang Sulawesi Selatan. Perubahan nama ini bukan hanya simbolis, tetapi juga komitmen untuk memajukan perempuan Minangkabau sesuai dengan nilai luhur Bundo Kanduang.

Penggunaan nama Bundo Kanduang pada organisasi perempuan Minangkabau di Sulawesi Selatan menunjukkan kecintaan dan komitmen mereka untuk melestarikan budaya Minangkabau di perantauan. Perubahan ini menjadi tanggung jawab moril bagi masyarakat Minangkabau dan tokoh adat, mengukuhkan peran perempuan sebagai pilar peradaban yang kokoh.

 

OLEH: FERRY TASLIM, S.H., M.HUM., M.SI. DATUAK TOEMBIDJO

(Tokoh Adat Minangkabau di Sulsel & Dewan Pembina IKMS Sulsel ).