MALUKU NAMLEA, INDIWARTA.COM – Kebijakan Bupati Buru dalam meresmikan pontong (alat transportasi air) di kawasan Dataran Waeapo menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Pasalnya, lokasi proyek tersebut diketahui masih berstatus tanah sengketa, sehingga langkah pemerintah daerah dinilai menabrak asas kepastian hukum.
Sorotan keras datang dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea. Ketua HMI Namlea, Abdullah Fatsey, menilai tindakan Bupati Buru merupakan bentuk pelampauan kewenangan (detournement de pouvoir) sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Pejabat publik dilarang menggunakan kekuasaan administratif untuk tujuan di luar kepentingan hukum yang sah. Dalam hal ini, kebijakan Bupati jelas tidak sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” tegas Fatsey.
Menurutnya, tindakan meresmikan pontong di atas tanah yang masih disengketakan berpotensi menciptakan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, karena tidak memberikan keadilan dan perlakuan setara bagi masyarakat yang bersengketa.
“Yang menjadi pertanyaan mendasar, mengapa pemerintah daerah tidak membangun infrastruktur permanen dan legal seperti jembatan, melainkan justru membuat kebijakan yang menabrak hukum dan mengabaikan hak warga?” ujarnya.
Fatsey menambahkan, HMI memandang langkah Bupati lebih bersifat politis dan pencitraan sesaat, bukan didasarkan pada kepentingan rakyat secara substantif.
“Sebagai organisasi kader umat dan bangsa, kami tidak berkongsi dan tidak beroposisi terhadap siapapun. Namun kami tegas menolak kebijakan yang tidak pro terhadap asas kepastian hukum dan keadilan sosial,” lanjutnya.
HMI menilai seharusnya pemerintah daerah berperan sebagai penengah yang adil dalam konflik agraria, bukan bertindak seolah sebagai penegak hukum yang memutuskan legitimasi kepemilikan lahan.
Lebih jauh, HMI Cabang Buru menyatakan siap melaporkan kasus ini ke Ombudsman Republik Indonesia jika Bupati tidak mengindahkan kritik publik.
“Kami menduga telah terjadi maladministrasi dan penyalahgunaan kewenangan. Negara tidak boleh membiarkan pejabat daerah mempermainkan hukum demi pencitraan politik,” tegas Fatsey.
Sebagai penutup, HMI Cabang Buru menyampaikan tiga tuntutan resmi:
1. Mendesak Pemkab Buru untuk mematuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik.
2. Mendesak DPRD Kabupaten Buru menjalankan fungsi pengawasan dan meminta penjelasan terbuka dari Bupati atas dasar hukum peresmian pontong di atas tanah sengketa.
3. Mendorong Ombudsman RI melalui Perwakilan Maluku untuk melakukan investigasi atas dugaan maladministrasi dalam kebijakan tersebut.
HMI menegaskan, negara hukum harus berdiri di atas asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, bukan pada kekuasaan tanpa batas.
(Fery/Indiwarta.com)












