TAKALAR, INDIWARTA.COM – Tata kelola pemerintahan di Desa Banyuanyara, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, kembali menjadi sorotan publik. Dugaan praktik nepotisme mencuat setelah terungkap bahwa diduga Bendahara Desa Banyuanyara dijabat oleh anak kandung Kepala Desa yang masih aktif memimpin.
Fakta ini menimbulkan keprihatinan sekaligus kecaman dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerhati tata kelola pemerintahan desa. Mereka menilai tindakan tersebut sebagai bentuk nyata pelanggaran terhadap asas transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.
“Ini pelanggaran serius. Kepala Desa tidak boleh mengangkat anaknya sendiri sebagai Bendahara Desa. Itu jelas benturan kepentingan dan termasuk nepotisme yang dilarang undang-undang,”ujar salah satu pemerhati desa di Takalar.
Lemahnya Pengawasan Berjenjang
Kasus ini juga menyingkap lemahnya fungsi pengawasan berjenjang, baik dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) maupun pihak Camat Sanrobone yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan administratif terhadap pemerintahan desa.
Padahal, BPD memiliki fungsi penting untuk memastikan seluruh keputusan dan kebijakan Kepala Desa sesuai peraturan perundang-undangan. Namun hingga kini, tidak ada langkah pengawasan, teguran, atau rekomendasi perbaikan dari BPD terhadap praktik nepotisme tersebut.
Hal serupa juga tampak dari pihak Camat Sanrobone, yang seharusnya menjalankan pembinaan sesuai amanat Pasal 154 huruf f Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi ataupun tindakan resmi dari pihak kecamatan.
“Kalau pengawasan dari BPD dan Camat berjalan sebagaimana mestinya, praktik seperti ini tidak mungkin terjadi. Ini bukti lemahnya sistem pengawasan di tingkat desa dan kecamatan,”tegas salah satu tokoh masyarakat Sanrobone.
Langgar Banyak Aturan
Berdasarkan hasil penelusuran, tindakan Kepala Desa Banyuanyara tersebut diduga melanggar sejumlah regulasi, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 51 huruf j yang menegaskan Kepala Desa dilarang menguntungkan diri sendiri atau keluarganya.
2. Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 jo. Permendagri Nomor 67 Tahun 2017, yang mewajibkan pengangkatan perangkat desa dilakukan secara objektif, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan keluarga.
3. Permenpan-RB Nomor 37 Tahun 2012, yang menegaskan hubungan keluarga dalam pengambilan keputusan termasuk benturan kepentingan langsung dan wajib dihindari.
Dengan demikian, pengangkatan anak Kepala Desa sebagai Bendahara Desa dinilai sebagai maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang, yang mencederai prinsip good governance di tingkat pemerintahan desa.
Publik Desak Investigasi Bupati Takalar
Publik juga menyoroti Dinas PMD dan Inspektorat Kabupaten Takalar, yang dinilai gagal menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan. Kedua instansi itu bahkan dianggap membiarkan atau menutupi dugaan praktik nepotisme tersebut.
“Kalau Dinas PMD dan Inspektorat diam, itu berarti ada pembiaran. Mereka seharusnya segera melakukan audit dan klarifikasi,”ujar salah satu aktivis antikorupsi di Takalar.
Masyarakat mendesak Bupati Takalar agar segera membentuk tim investigasi independen untuk menelusuri dugaan pelanggaran ini secara menyeluruh, termasuk menilai tanggung jawab moral dan administratif dari BPD, Camat, Dinas PMD, dan Inspektorat.
Langkah ini dinilai penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah sekaligus memastikan penyelenggaraan pemerintahan desa berjalan bersih dan profesional.
“Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, bukan hanya mencoreng nama baik Bupati Takalar, tapi juga bisa menular ke desa-desa lain. Pemerintah daerah harus tegas menegakkan aturan,”pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi masih berupaya mendapatkan klarifikasi resmi dari Kepala Desa Banyuanyara terkait dugaan nepotisme tersebut. (*)












