Gunung Botak Menghitam: Tambang Emas Ilegal Disebut Ancam Sawah, Warga Cemas Bahaya Merkuri

MALUKU BURU, INDIWARTA.COM – Kekhawatiran para petani di Kabupaten Buru semakin tak terbendung. Aktivitas penambangan emas ilegal yang terus berlangsung di kawasan Gunung Botak sejak 2011 disebut telah memasuki fase yang mengancam keselamatan lingkungan dan keberlanjutan lahan pertanian di wilayah tersebut.

Dalam 15 tahun keberadaannya, praktik tambang tak berizin yang berlangsung tanpa kontrol itu bukan hanya menyebabkan kerusakan fisik lahan, tetapi juga menebar ancaman kimia berbahaya merkuri yang digunakan dalam proses pengolahan emas.

Di Kecamatan Waelata, terutama Desa Parbulu, Widit, dan Debowae, kecemasan kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Para petani di wilayah itu menyebut, hujan tidak lagi sekadar tanda musim tanam, tetapi juga pemicu ketakutan. Jika curah hujan meningkat, air sungai dan jalur irigasi dikhawatirkan membawa limbah bercampur merkuri ke area persawahan.

“Kami hidup dalam ketidakpastian. Hujan turun sedikit saja, pikiran kami langsung ke sawah: apakah airnya sudah tercemar? Apakah hasil panen masih aman dikonsumsi?” ujar salah satu warga Parbulu yang enggan disebutkan namanya.

Kerugian disebut bukan hanya dalam bentuk hilangnya potensi panen, tetapi juga ancaman jangka panjang terhadap kualitas tanah, air, dan kesehatan manusia.

“Negara Harus Ambil Alih”

Salah satu petani, Ngariman, angkat suara. Ia meminta pemerintah tidak hanya melihat persoalan ini dari sisi penertiban hukum, tetapi juga dari aspek penyelamatan lingkungan dan masa depan ekonomi warga.

“Kami meminta pemerintah segera menutup tambang itu dan ambil alih pengelolaannya. Kalau negara kelola, bisa legal, teratur, dan tidak merusak lingkungan,” ujar Ngariman dengan nada tegas.

Ia menyebut, persoalan kini semakin serius karena pengolahan emas menggunakan TON dan tromol tidak lagi hanya dilakukan di lokasi tambang. Kini, mesin pengolah itu berdiri di dalam permukiman warga.

Aktivitas itu diyakini memperluas zona pencemaran merkuri dan memperbesar potensi krisis kesehatan serta kerusakan ekosistem.

Menunggu Ketegasan Pemerintah

Warga menyayangkan lambannya penegakan aturan, termasuk Surat Edaran Gubernur Maluku Nomor 500.10.2.3/1052 tertanggal 19 Juni 2025 tentang penertiban dan pengosongan wilayah pertambangan emas Gunung Botak.

Surat itu menjadi harapan, tetapi hingga kini dinilai belum terlihat langkah konkret di lapangan.

“Jangan tunggu sampai sawah kami tak bisa ditanami lagi. Jangan tunggu sampai warga jatuh sakit. Pemerintah harus turun tangan,” tambah Ngariman.

Para petani di Buru kini menunggu keputusan yang akan menentukan masa depan lahan mereka lahan yang telah menghidupi generasi demi generasi sebelum merkuri hadir dan mengubah keseimbangan alam di Gunung Botak.

Saat ini, yang tersisa adalah harapan: agar tanah tetap bisa ditanami, air tetap bisa diminum, dan hukum tetap berdiri di atas kepentingan bersama.

(SM)