Oleh: Maze Ali Knock
TAKALAR, INDIWARTA.COM – Takalar memang daerah kecil di selatan Sulawesi Selatan. Tapi di bawah kepemimpinan Bupati Firdaus Daeng Manye, daerah ini mulai menunjukkan taringnya bukan hanya di tingkat lokal, tetapi juga dalam relasi antarwilayah yang jarang tersorot. Salah satu contohnya adalah kunjungan resmi Bupati Takalar ke Kabupaten Fakfak, Papua Barat, hari ini. Bukan kunjungan biasa, bukan pula kunjungan seremonial, tapi sebuah bentuk diplomasi daerah yang menyentuh langsung nasib nelayan Takalar yang selama ini menggantungkan hidupnya di laut Papua.
Sudah sejak lama para nelayan dari Takalar merantau ke Timur Indonesia untuk mencari ikan, terutama di perairan Papua. Fakta ini bukan baru. Tapi selama ini, tak ada Kepala Daerah yang benar-benar menaruh perhatian. Mereka yang berjuang di tengah laut seringkali jauh dari keluarga dan kampung halaman berjuang sendiri tanpa dukungan struktural dari pemerintah asalnya. Ironis, mengingat sektor kelautan adalah salah satu penyangga ekonomi di Takalar.
Namun Daeng Manye memutus tradisi diam itu! Ia memilih hadir langsung. Ia bertemu dengan pemerintah Fakfak, membuka ruang dialog dan kerjasama, menyampaikan maksud baik agar nelayan Takalar mendapat perlindungan hukum, sosial, dan kerjasama yang resmi di wilayah Fakfak. Ini bukan haya menyelesaikan potensi gesekan antar daerah, tapi juga mengangkat derajat nelayan sebagai warga negara yang dihargai jerih payahnya.
Langkah ini, dalam kaca mata pembangunan daerah, adalah bentuk keberanian politik yang patut dicatat. Daerah seperti Takalar, dengan keterbatasan fiskal dan sumber daya, tak boleh hanya bertumpu pada proyek fisik atau seremonial di pusat kota. Pembangunan juga harus menjangkau warganya yang hidup jauh dari kantor-kantor pemerintah, bahkan yang bekerja di luar wilayah.
Daeng Manye membuktikan bahwa kepemimpinan bukan sekadar soal rutinitas administrasi. Kepemimpinan adalah soal kehadiran. Dan dalam konteks ini, kehadiran yang nyata bahkan hingga ke pelosok Papua.
Kita patut mengapresiasi langkah ini bukan hanya karena belum pernah dilakukan oleh bupati sebelumnya, tetapi karena mencerminkan arah baru dalam cara memandang pembangunan: kolaboratif, interkonektif, dan berbasis pada realitas warga.
Jika pemimpin seperti Daeng Manye terus konsisten dengan pendekatan seperti ini, maka Takalar bukan hanya akan dikenal sebagai daerah agraris dan pesisir, tetapi juga sebagai daerah yang warganya dihargai, dilindungi, dan dipikirkan hingga ke ujung laut Nusantara.
Dan mungkin, sejarah kelautan Takalar akan menulis babak baru dimulai dari satu kunjungan, satu nyali, dan satu tekad: hadir untuk nelayan. Takalar bukan hanya kuat di darat tapi juga kuat di laut. Dan itu semua dimulai dari pemimpin yang Punya Nyali dan Hati-Daeng Manye. (*)












