TAKALAR, INDIWARTA.COM – Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Takalar memperoleh kucuran anggaran sebesar Rp6,702 miliar pada Tahun Anggaran (TA) 2024. Dana tersebut bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang diperuntukkan bagi rehabilitasi sejumlah fasilitas pendidikan dasar dan menengah.
Fokus program ini meliputi perbaikan ruang kelas, ruang guru, ruang kepala sekolah, perpustakaan, ruang tata usaha, toilet/jamban, hingga laboratorium komputer. Anggaran tersebut dialokasikan untuk sembilan sekolah yang tersebar di berbagai kecamatan, yakni:
1. SD Sampulungan (Galesong Utara)
2. SD Kapunrengan (Mangarabombang)
3. SD Parambaddo (Polombangkeng Utara)
4. SD Masalleng (Mappakasunggu)
5. SD Su’rulangi (Polombangkeng Selatan)
6. SD Lamangkia (Mangarabombang)
7. SMPN 2 Polombangkeng Utara
8. SMPN 6 Polombangkeng Utara
9. SMPN 2 Mangarabombang
Namun di balik semangat pembangunan ini, mencuat isu tidak sedap. Proyek yang seharusnya dilakukan secara swakelola oleh pihak sekolah, diduga dipaksakan untuk dipihak-ketigakan. Informasi yang beredar menyebut, Kepala Bidang Dikdas Dinas Pendidikan disebut-sebut mengarahkan kepala sekolah penerima proyek untuk menyetor uang sebesar Rp2,5 juta sebagai “tanda jadi”, serta fee tambahan 10% hingga 15% setelah proyek selesai.
Meski demikian, tidak semua kepala sekolah bersedia mengikuti pola tersebut. Dua sekolah diketahui tetap mempertahankan pelaksanaan proyek secara swakelola.
Kabid Dikdas, Rahmadi Kulle, saat dikonfirmasi membantah keras adanya praktik pungutan tersebut. Ia menyebut tidak pernah menerima setoran dalam bentuk apa pun dari kepala sekolah.
“Saya tidak ada setoran 10 persen ke Dikdas seperti yang dikabarkan, termasuk uang tanda jadi Rp2,5 juta,” ungkap salah satu kepala sekolah dari Kecamatan Polongbangkeng Utara yang turut dimintai klarifikasi.
Pernyataan itu juga dikuatkan oleh kepala sekolah lain di wilayah Polongbangkeng Timur. Namun bertolak belakang, salah satu rekanan proyek secara terbuka mengakui adanya setoran 10% yang diserahkan langsung kepada pihak sekolah.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi pelaksanaan proyek dan sejauh mana pengawasan dari pihak terkait dilakukan secara efektif.
Publik pun berharap aparat penegak hukum dan instansi pengawas segera turun tangan menyelidiki dugaan penyimpangan yang mencoreng dunia pendidikan daerah.
(Red/CW)